Inilah kisah anak rantau.
Yang pergi jauh sebrangi pulau.
Telan sendiri segenap galau.
Di musim hujan maupun kemarau.
Kisahku ini untuk kiasan.
Menggores dalam sangat berkesan.
Di dalam terkandung hikmah dan pesan.
Dalam hadapi semua urusan.
Merubah nasib tekad semula.
Siang dan malam dalam kepala.
Tinggalkan rumah serta segala.
Ayah bunda tinggalkan pula.
Ayah bunda di mohon izin.
Do'a di pinta sukses di yakin.
Tinggalkan rumah dekat semakin.
Pergi sendiri tinggalkan bunda.
Tekad telah kuat di dalam dada.
Mimpi di rajut cinta di renda.
Berharap sukses kelak ananda.
Ternyata rantau tidaklah mudah.
Tak boleh diri menepuk dada.
Berkata juga harus merendah.
Kalau tidak susahlah sudah.
Induk semang pun harus di cari.
Kalau menyewa tak mampu diri.
Banyaklah tempat yang di tawari.
Tapi semua bayar sendiri.
Ternyata masih ada orang yang baik.
Mau sediakan tempat sebilik.
Walaupun kecil dan tidak apik.
Tapi syukurlah tak jadi balik.

Teringat pesan ayah dan bunda.
Ringanlah tangan hati merendah.
Rajin bekerja janganlah mandah.
Berat tumpangan kalau mau pindah.
Kadang air mata mengalir.
Orang cemberut kita berdesir.
Orang di ampun kita berfikir.
Apakah nanti akan di usir.
Betapa berat hidup menumpang.
Segala laku harus di timbang.
Tak boleh bicara dengan serampang.
Atau berkata dg nada sumbang.
Cita yang ada tetap terpendam.
Jalan di depan masihlah kelam.
Bagaikan gelap di waktu malam.
Masih dalam lautan dasar.
Kekanan kekiri mulai bersanja.
Mencari tempat untuk bekerja.
Tak apa kecil dan bersahaja.
Yang penting tidak mengangur saja.
Ternyata sabar harus di tambah.
Kerja yang bagus sangat di damba.
Tapi semua orang berlomba.
Nihil hasilnya setelah di coba.
Inilah pedih si anak rantau.
Jalan di depan serasa galau.
Di bawah terik matahari silau.
Haus menyengat saat kemarau.
Kerja yg bagus tak dapat bakal.
Uang yang ada di buat modal.
Dagang asongan di pinggir pangkal.
Kadang pun pindah dalam terminal.
Kerja begini terasa pahit.
Untung pun selalu sangat sedikit.
Makanpun harus sangat mengirit.
Hujan dan panas tak boleh sakit.
Kadang tak sadar ratapi diri.
Untung berdagang makan sehari.
Tuk makan besok harus di cari.
Di bawah panas terik berlari.
Sering teringat ayah dan bunda.
Tiada kabar tiada berita.
Ingin pulang tiada biaya.
Ingin kirim uang tiada.
Betapa sering munculnya sesal.
Mengapa tidak pulang keasal.
Hidup bertani bekerja misal.
Walau sedikit dapat di bekal.
Waktu berlalu tiada terbayang.
Modalpun sudah habis melayang.
Pakaian tinggal untuk sembahyang.
Tinggallah sedih badan sebatang.
Inilah kisah yg sangat sedih.
Di dlm sunyi aku merintih.
Karena salah jalan di pilih.
Menyesal diri tak bisa pulih.
Ku tulis kisah agar berhikmah.
Supaya tidak menjadi lemah.
Walaupun hidup tak punya rumah.
Tetap di jaga diri berhimah.
Kepada mereka yang akan pergi.
Hamba berpesan fikirkan lagi.
Kalau sekolah tidaklah tinggi.
Tak akan kerja dapat terbagi.
Baiklah engkau tetap di desa.
Hidup bertani sudah biasa.
Kerja terhormat serta berjasa.
Memberi makan sesama manusia.
Hidup di kampung tidaklah hina.
Silaturrahim hangat di sana.
Orang orangnya sangat bijak sana.
Dapat bahagia kita karena.
Tetapi kalau tekatmu kuat.
Sekolah tinggi harus kau dapat.
Terampil engkau untuk berbuat.
Niscaya sukses akan di pahat.
Bagi sahabat yg sudah berhasil.
Ingatlah selalu kampung yg kecil.
Ratapan bunda terus memanggil.
Kala dirinya mulai menggigil.
Janganlah lupa untuk berbagi.
Nasib bagaikan siroda gigi.
Kadang di atas di bawah lagi.
Kadang ia datang kemudian pergi.
Jangan diri menjadi sombong.
Karena Alloh jua menolong.
Ingatlah dulu masih di kolong.
Hanya punya baju sepotong.
Walaupun sebagian gagal di kota.
Kepada Alloh tetap di pinta.
Di jaga walaupun hidup melata.
Jauhkan dari haramnya harta.
Jadikan ini tuk pelajaran.
Bagi yang masih penasaran.
Kalaulah boleh ku beri saran.
Pada keluarga beserta jiran.
Sairku ini sampai di ahir.
Air mataku masih mengalir.
Hujan dan panas terus bergulir.
Sampai takdirku akan berahir.
No comments:
Post a Comment